Siaran Mata Najwa Berhenti Tayang?

Siaran Mata Najwa Berhenti Tayang?


Jika Anda sering atau setidaknya pernah dibuat jatuh cinta (baca: mengagumi) pertanyaan-pertanyaan kritis ala Najwa Shihab di Mata Najwa, terkesima dengan sorot mata tajam seorang perempuan cerdas yang ada di dunia layar kaca, maka Anda dapat meresapi lagi kenyataan bahwa cinta memang tidak untuk memiliki. Ia tak abadi.

Acara ini "tutup usia". Dalam hitungan pekan ke depan, Najwa Shihab hanya tampil untuk sesi terakhir.

Begitulah. Akhirnya Najwa yang selama ini membuat seisi negeri ini terkagum-kagum dengan kepiawaiannya menggugat, mencubit, sesekali mengigit, namun tetap bersahabat itu memilih "angkat kaki" dari dunia televisi.

Akun Instagram @najwashihab yang tak lain milik Najwa sendiri, memastikan hal itu. Tak ayal, dalam waktu sekitar delapan jam sejak ia mengumumkan hal itu, tak kurang dari 2.000 komentar muncul, dan like mencapai 25 ribu lebih.

Respons di media sosial itu cukup menjadi petunjuk bagaimana pengaruh acara yang selama ini digawangi putri intelektual Muslim moderat, Quraish Shihab, tersebut memiliki pengaruh yang tak dapat dibilang kecil.

Bukti lain dari pamor acara tersebut, akun Twitter @MataNajwa memiliki follower mencapai angka 2 juta. Tak berlebihan kiranya jika kabar yang disampaikan sendiri oleh Najwa Shihab atas akan berakhirnya Mata Najwa menghentakkan publik.

Bahkan seorang tokoh nasional, Prof. Emil Salim pun turut menyampaikan kesedihannya atas berakhirnya sebuah tayangan televisi yang dinilai mencerahkan.

"Jangan sampai program yang bicara jujur, terbuka, tak ada tempat lagi di ruang publik menjelang era persiapan Pilkada/Pemilu di masa depan," tulis Emil di akun Twitternya.

Profesor Emil juga sempat menggarisbawahi kesedihannya atas berakhirnya acara itu. "Najwa Shihab bekerja 17 tahun di Metro TV dan memimpin talk-show Mata Najwa setelah 511 episode," tulisnya dengan nada getir, tanpa ketinggalan menyinggung episode terakhir yang akan tayang dengan tajuk Catatan Tanpa Titik, yang memang akan ditayangkan pada 30 Agustus ini.

Apa yang terungkap oleh Prof. Emil Salim tentu saja cukup mewakili kemasygulan para pecinta acara yang identik dengan diskusi terbuka tersebut.

Publik takkan melupakan bagaimana Najwa mampu membuat panggung yang dikuasainya itu tak hanya menjadi "arena laga" mereka yang bertempur untuk merebut tongkat kekuasaan. Bukan hanya tempat keributan sebagian tamunya yang ingin berebut pengaruh.

Di sana, ia juga acap mengetuk perasaan siapa pun dengan sajak-sajak yang acap dibacakan di awal dan akhir acara. Atau, ia mengajak mengintip lebih dekat tentang  "para petarung" yang acap bekerja sendiri memperbaiki banyak hal yang rusak; persatuan, kebersamaan, dan kedamaian.

Terutama di akhir acara, seringnya, kalimat berima yang memang layak disebut sajak acap menjadi cara terbilang "sangat cantik" yang dilantunkan suaranya yang berkarakter, tegas, terkadang lirih, namun tetap memiliki magnet keindahan selayaknya suara perempuan.

Lewat acara Mata Najwa, sosok yang pantas disebut sebagai salah satu tokoh perempuan paling berpengaruh di negeri ini, mengajak berdialog, mengajak berbicara terbuka, dan mengajak membiasakan budaya berbicara saling berhadapan--agar tak membiasakan menikam dari belakang.

Tokoh-tokoh yang berebut kursi kepresidenan, gubernur, hingga mereka yang bergerak di dunia sepak bola pun tak luput dari cecaran pertanyaan kritisnya. Di hadapannya, para narasumber yang diundang olehnya tak jarang ada yang terbawa emosi, meledak-ledak, hingga air mata.

Najwa mampu mengelola semua proses diskusi itu dengan cantik. Ia mampu membangun atmosfer yang tertata dengan apik. Tak heran jika figur-figur yang terbiasa tampil meledak-ledak, hingga yang terlalu banyak polesan, mampu "dipaksa" untuk bermain sesuai aturan main ditetapkannya. Bahwa, itu adalah panggungnya, ketika suasana memanas ia dengan sigap menengahi hingga kembali mencairkannya.

Lantas apa yang paling berharga dari acara Mata Najwa?

Ya, itu tentu saja menjadi salah satu pertanyaan paling penting diutarakan, setidaknya ke diri kita masing-masing, yang pastinya menyimpan kesan dan pandangan tersendiri.

Setidaknya dalam hemat saya pribadi, Najwa dan tentu saja semua kru atau tim yang terlibat dalam acara tersebut adalah figur-figur yang saya yakini sangat memahami plus minus Najwa; sebagai perempuan muda, masih memiliki kecenderungan berapi-api, namun bisa tampil elegan.

Terlepas ia memiliki keberpihakan dalam hal tertentu, seperti juga mungkin beberala kalangan di timnya, namun mereka sukses menampilkan kekuatan satu tim--bukan Najwa sendiri. Mereka mampu meleburkan diri dalam satu tim, dan bekerja sempurna sebagai tim.

Tanpa tim yang solid dan terbangun dengan baik di belakang layar, Najwa sendiri dapat dipastikan tak memiliki waktu dan kemampuan mobilitas memadai untuk "menyeret" berbagai tokoh dari Sumatra hingga Papua.

Di sisi ini, ia telah memberikan contoh baik bagi kalangan stasiun TV manapun, tak hanya soal bagaimana berburu pengaruh, tapi bagaimana bekerja sama hingga dapat membawa impact ke setiap tempat di mana terdapat kotak bernama televisi.

Di luar itu, bagi publik, Najwa terbilang sukses mengajak mereka untuk tidak menghakimi apa pun. Pilihan terbaik di tengah berbagai sengkarut, isu, hingga berbagai pemberitaan, adalah menyimak dan menelusuri sebaik-baiknya. Bukan untuk menjadikannya senjata untuk saling menghancurkan, namun itu disulap olehnya untuk membuat satu dengan lain pihak tetap terikat.

Artinya, terserah Anda berasal dari suku, agama, dan aliran politik apa pun, tapi jangan meracuni pikiran orang lain dengan hal-hal bersifat isapan jempol; melainkan pertemukan mereka, ajak mereka saling bicara, dan mencari titik temu alih-alih terpaku pada hal-hal yang menjurus pada kehancuran.

Menariknya, Najwa "mengajarkan" hal itu tanpa perlu menggurui. Ia acap menyisipkan pesan paling penting lewat sajak di awal dan akhir acara, memintanya lewat komentar narasumber yang diundangnya, hingga menyampaikan pesan itu lewat pertanyaan.

Lewat Mata Najwa juga, sosok Najwa memang kental mengajak untuk menghidupkan budaya manusia beradab; untuk adil meskipun secara pribadi ada kecenderungan untuk mendukung tidaknya satu kelompok. Selain, dia juga mengajak melihat, bahwa dalam semua perbedaan, sejatinya masih banyak persamaan yang masih bisa dicari dan dijadikan pondasi untuk menciptakan suatu kekuatan.

Terlepas, di sisi lain, ajakan ini sendiri terkadang ibarat dinding dari semen yang masih basah, namun dipalu oleh kalangan yang meletakkan kepentingan politik di atas segalanya.

Itu memang fakta yang sulit dielak olehnya. Pertama, ia sendiri memang berada di satu stasiun televisi yang berafiliasi ke salah satu partai politik, pemilik televisi itu pun terkenal sebagai pemain lama di dunia politik, dan inilah yang belakangan memunculkan spekulasi; acara ini terhenti murni atas pilihan sendiri, dihentikan kekuatan korporasi, atau karena pihak Najwa dan TV sendiri sengaja mencari momen menghentikannya di saat nama mereka memang masih belum cacat?

Dalam hemat saya pribadi, tak terlalu penting apa yang melatari acara itu terhenti. Sebab yang terpenting adalah apakah ke depan akan lebih banyak acara yang memiliki kemampuan edukasi seperti ini? Atau apakah acara ini sendiri dapat bangkit lagi? Atau, lagi, Najwa akan tampil di tempat lain yang masih rahasia, dan ia bebas dari kekuatan politik, hingga bisa "mendidik" tanpa kekhawatiran direcoki oleh kepentingan politik?

Sebab, sejauh ini yang menjadi kekuatan bagi Najwa adalah ketika ia bisa tampil bebas, tak ada dikte terlalu mencolok yang dapat membebani dan mengusik objektivitasnya. Ia mampu tampil lebih mengalir ketika dalam posisi yang terlihat sepenuhnya bebas dari itu.

Tapi, lagi-lagi, saya sendiri tak ingin berspekulasi. Terlepas saya turut menjadi salah satu yang mengamini bahwa acara ini besar karena isu-isu politik, tapi tak punya cukup bukti untuk menghakimi kenapa berakhir seperti ini.

Tentu saja, saya memilih kesimpulan hanya seperti ini, karena sejujurnya tersugesti sekali; jangan menghakimi dari luar panggung, jika kita sendiri tak melihat utuh apa sebenarnya di belakang panggung.

Komentar